Saturday, March 12, 2011

Persalinan Tanpa Rasa Nyeri

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilrnu Kedokteran yang mengembangkan teknologi farmakologis dan neuro fisiologis untuk membebaskan pasien dari sensasi nyeri, baik nyeri yang diakibatkan oleh pembedahan, proses persalinan, tindakan pengobatan dan diagnostik, trauma maupun kanker. Menurut Nicholas M Greene (1994),
Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang memotong horisontal cabang ilmu kedokteran lainnya, dalam arti kata terlibat dengan ilmu-ilmu yang lain.
Sedangkan The American Board of Anesthesiologv, memberi batasan bahwa salah satu kegiatan praktik kedokteran dalam anestesiologi adalah: menghasilkan hilangnya perasan nyeri selama pembedahan, persalinan, tindakan pengobatan dan diagnostik, dan pengelolaan penderita – penderita tersebut. Dari apa yang tertera dalam dokumen tertulis ter­sebut, jelas bahwa anestesiologi tidak hanya memfasilitasi pembedahan saja tetapi juga masalah nyeri apa pun penvebabnya, termasuk persalinan.
Berdasarkan pengalaman kami saat menjalani kepaniteraan klinik di bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, banyak pasien merasakan nyeri yang hebat saat persalinan. Sampai saat ini informasi layanan bebas nyeri pada persalinan belum banyak diketahui oleh masyarakat, dokter muda di bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahkan dokter muda anestesiologi sendiri.
 
 BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 PERSALINAN
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin atau uri) yang telah cukup bulan atau hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri). Bentuk persalinan berdasarkan definisi adalah sebagai berikut:
a. Persalinan spontan, bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri.
b. Persalinan buatan, bila proses persalinan dengan bantuan tenaga dari luar.
c. Persalinan anjuran, bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan ditimbulkan dari luar dengan jalan rangsangan.

Gambaran Perjalanan Persalinan
A. Tanda persalinan
1) Terjadinya his persalinan.
2) Pengeluaran lendir dan darah (pembawa tanda).
3) Pengeluaran cairan (ketuban pecah).
B. Pembagian Waktu persalinan
1) Kala I    : sampai pembukaan lengkap.
2) Kala II : pengusiran janin (lahirnya bayi).
3) Kala III : pengeluaran uri (lahirnya plasenta).
4) Kala IV : observasi 2 jam (perdarahan postpartum)

Perubahan fisiologik yang terjadi pada wanita hamil selama tiga bulan terakhir adalah meningkatnya : curah jantung, volume darah, kebutuhan oksigen, menurunnya kapasitas vital dan resistensi pulmonal, fungsi hati, filtrasi glomerulus dan plasma renal, aktivitas serum kolinesterase, serta kemungkinan timbulnya sindroma hipotensi supin oleh karena penurunan aliran balik vena melalui pembuluh darah besar abdominal yang disebabkan oleh penekanan rahim yang membesar.
Perubahan fisiologik lain adalah meningkatnya kejadian emesis. regurgitasi dan aspirasi pada setup saat, padahal anestesi sering diperlukan pada periode persaIinan. Di sisi lain, obat-obat untuk mengurangi kecemasan, rasa sakit selama persalinan dan melahirkan dapat melewati plasenta dan berpengaruh pada bayi. Bayi sangat mudah terpengaruh dengan obat-obat yang mempunyai efek depresan yang dialami pada persalinan.
Pada banyak wanita, persalinan menghasilkan nyeri hebat dan cemas. Perlu dipertimbangkan bahwa kondisi stres saat persalinan mengakibatkan terjadinya respons hormonal, yaitu meningkatnya kortisol, prolaktin, TSH, ACTH, ADH, katekolamin, beta-endorfin. Peningkatan hormon-hormon ini akan menyebabkan perubahan metabolik dan hemodinamik yang lebih buruk pada persalinan.

2.2 NYERI PERSALINAN
Persalinan ditandai dengan adanya nyeri akibat kontraksi uterus yang menyebabkan dilatasi dan pendataran serviks. Adanya nyeri persalinan ternyata dapat menimbulkan stres yang menyebabkan pelepasan hormon yang berlebihan seperti katekolamin dan steroid.1-8 Hormon ini dapat menyebabkan terjadinya ketegangan otot polos dan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan kontraksi uterus, penurunan sirkulasi uteroplasenta, pengurangan aliran darah dan oksigen ke uterus, serta timbulnya iskemia uterus yang membuat impuls nyeri bertambah banyak.1-8 Keadaan demikian disebut sebagai sindrom takut-tegang nyeri (feartension pain syndrome) 1,6,8,9
Bonica dalam penelitiannya terhadap 2.700 parturien di 121 pusat obstetri dari 36 negara menemukan bahwa hanya 15% persalinan yang berlangsung tanpa nyeri atau nyeri ringan, 35% persalinan disertai nyeri sedang, 30% persalinan disertai nyeri hebat dan 20% persalinan disertai nyeri yang sangat hebat.7
Nyeri persalinan merupakan respons stimulasi persarafan yang disebabkan oleh adanya kontraksi uterus dan kerusakan jaringan selama persalinan serta kelahiran melalui vagina. Persepsi tentang nyeri atau toleransi nyeri bervariasi tergantung individu masing-masing, dan intensitas nyeri selama persalinan mempengaruhi kondisi psikologis ibu, proses persalinan, dan kesejahteraan janin. 8,9
Nyeri yang ditirnbulkan oleh kontraksi rahim bersama dengan dilatasi leher rahim ditransmisikan oleh serat saraf aferen yang melintasi akar posterior medula spinalis serabut saraf vertebra T11 dan vertebra T12 serta beberapa serabut saraf vertebra  T10 dan vertebra L.
 Nyeri yang dihasilkan oleh distensi jalan lahir, vulva, dan perineum dihantarkan oleh serat saraf aferen dari akar posterior saraf vertebra S2-S4. Jalur ini harus diblok untuk mendapatkan kondisi nyarnan yang bebas nyeri selama persalinan pervaginam ( Gb. I ). Untuk induksi blok epidural obstetri bisa dipilih  vertebra L2, L3 atau L4.







Gambar 2. Jalur nyeri pada persalinan (Ostheimer GW, 1992)
Metode yang digunakan untuk mengukur nyeri saat ini adalah unidimensi yang mempunyai satu variabel pengukur intensitas nyeri dan multidimensi. Metode unidimensi diantaranya verbal rating scale (VRS), numerical rating scale (NRS) dan visual analogue scale (VAS).1,10,13

 Menurut Reeder kira-kira 25% ibu bersalin memiliki daya tahan tinggi, mampu mengatasi nyeri persalinan, sehingga proses persalinannya berjalan normal. Nyeri persalinan dapat menimbulkan kecemasan pada pasien, menyebabkan timbulnya hiperventilasi sehingga kebutuhan oksigen meningkat, kenaikan tekanan darah, dan berkurangnya motilitas usus serta vesika urinaria.10 Keadaan ini akan merangsang peningkatan katekolamin yang dapat menyebabkan gangguan pada kekuatan kontraksi uterus sehingga terjadi inersia uteri apabila tidak dikoreksi , yang akan menyebabkan terjadinya partus lama.
 Nyeri persalinan dapat merangsang pelepasan  mediator kimiawi seperti prostaglandin, leukotrien, tromboksan, histamin, bradikinin, substansi P, dan serotonin, akan membangkitkan stres yang menimbulkan sekresi hormon seperti katekolamin dan steroid dengan akibat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga kontraksi uterus melemah. Sekresi hormon tersebut yang berlebihan akan menimbulkan gangguan sirkulasi uteroplasenta sehingga terjadi hipoksia janin. Pemberian analgetik diperlukan dalam mengurangi nyeri persalinan sehingga dapat mengurangi hipoksia janin. Untuk alasan ini maka salah satu prinsip dasar obstetri modern adalah mengurangi nyeri selama persalinan, dengan menggunakan analgesia yang adekuat.9,11,12

2.3 PENANGGULANGAN NYERI PERSALINAN
Ada dua cara penanggulangan nyeri persalinan, yaitu noninvasif dengan hydrotherapy (Waterbirth), massage therapy, aromatherapy, relaksasi/yoga dan metode invasif berupa analgesia epidural.6
Penanggulangan nyeri persalinan noninvasif
1.      Waterbirth
 
2.      Aromatherapy
        Menurunkan tingkat kecemasan& stress
        Meredakan nausea & vomiting
Aromatherapy dapat digunakan dengan berbagai cara, terutama melalui inhalasi. Contohnya menggunakan wewangian, sauna dan lainnya
 3.      massage therapy
 

4.      Relaksasi / Yoga
 

2.4             ANESTESI EPIDURAL LUMBAR UNTUK MEMFASILITASI PERSALINAN BEBAS NYERI

2.4.1. Anestesia Epidural
Anestesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat diruang epidural (periural, ekstradural).ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan dibawah denan selaput sakrokogsigeal. Kedalaman ruangan ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
                        Obat anestetik lokal diruang subepidural bekerja langsung pada akar saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Awal kerja anestesia epidural lebih lambat dibandung anestesia spinal sedang kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.





Indikasi anestesia epidural
1.      Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah
2.      Tatalaksana nyeri saat persalinan
3.      Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan
4.      Tambahan pada anestesia uum ringan karena penyakit tertentu

Penyebaran obat pada anestesia epidural bergantung :
1.      Volum obat yang disuntikkan
2.      Usia pasien
3.      Kecepatan suntikan
4.      Besarnya dosis
5.      Ketinggian tempat suntikan
6.      Posisi pasien
7.      Panjang kolumna vertebralis (suntikan 10-15 ml obat akan menyebar kedua sisi sebanyak 5 segmen)

Teknik analgesia epidural
1.      Posisi pasien pada saat tusukan seperti pada analgesia spinal
2.      Tusukan jarum epidural dikerjakan pada ketinggian L3-4, karena jarak antar ligamentum flavum-duramater pada ketinggian ini adalah yang terlebar
3.      Jarum epidural yang digunakan ada dua:
a.       Jarum ujung tajam (crawford) digunakan untuk dosis tunggal
b.      Jarum ujung khusus (tuohy) untuk memandu memasukkan kateter ke ruang epiural
4.      Teknik yang sering digunakan:
a.       Teknik hilangnya resistensi ( loss of resistance )
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau plastik rendah resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3 ml. Lalu diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum ditusukan sedalam 1-2 cm. Kemudian udara atau NaCl disuntikkan perlahan secara intermiten sambil mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi. Setelah yakin berada di ruang epidural lakukan uji dosis.
b.      Teknik tetes bergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti sebelumnya, tetapi pada teknik ini jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat tetesan NaCl yang menggantung. Dorong jarum secara perlahan sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya tetesan NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin jarum berada di ruang epidural, dilakukan uji dosis.
5.      Uji dosis
Uji dosis dilakukan setelah ujung jarum diyakini masuk ke ruang epidural. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1:200.000.
a.       Tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum atau kateter benar
b.      Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang subarakhnoid karena terlalu dalam.
c.       Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena epidural.
6.      Cara penyuntikan
Setalah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit, sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan ruang epidural mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
7.      Uji keberhasilan analgesia epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a.       Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b.      Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum
c.       Tentang blok motorik dari skala bromage. 

Skala bromage adalah:

Melipat lutut
Melipat jari
Blok tak ada
++
++
Blok parsial
+
++
Blok hampir lengkap
-
+
Blok lengkap
-
-






 Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural
1.      Lidokain (xylokain, lidonest)
Digunakan 1-2%, mula kerja 10 menit dan relaksasi otot baik
0,8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik
1,5% lazim digunakan untuk pembedahan
2 % untuk relaksasi pasien berotot
2.      Bupivakain (markarin)
Konsentrasi 0,5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam.volum yang digunakan <20 ml

Komplikasi
1.      Blok tidak merata
2.      Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
3.      Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4.      Mual-muntah

2.4.2. Prosedur Persalinan Anestesi Epidural Lumbar


v   Premedikasi 
ü    30 ml antasid oral          30-60 menit
ü    10 mg metoklopramid i.v                    sebelum induksi

 v   Penambahan
ü    H2  hiocker (simetidin atau ranitidin) perlu dipertimbangkan pada pasien yang berisiko muntah.
v   Posisi lateral kanan, setelah induksi diubah kiri. Bisa juga langsung lateral kiri atau duduk.






Gambar 9. Posisi lateral kanan (Ostheimer GW, 1992)

v   Desinfektan dengan betadin dan alkohol, tunggu sampai kering.
v   Masukkan / tusukkan jarum epidural no 18 pada sela vertebra L3 4 atau L45
v   Berikan 2-3 ml obat anestesi lokal sebagai dosis percobaan melalui jarum tersebut.
v   Masukkan kateter epidural melalui jarum ke arah kepala hingga berada 2 cm dalam ruang epidural.
v   Lakukan aspirasi untuk memastikan bahwa kateter tidak masuk ke dalam pembuluh darah atau ruang subarakhnoid.
v   Bila hasilnya negatif, cabut jarum epidural dan suntikkan lagi 3 ml obat anestesi lokal, observasi selama 5 menit.
v   Selanjutnya fiksasi kateter dengan piester dan berikan dosis fraksional (3-5 ml) obat anestesi lokal dengan interval waktu 5 menit sampai dosis penuh tercapai ; tiap suntikan tidak boleh lebih dari 5 ml.

v   Setelah pembukaan leher rahim hampir lengkap, pasien didudukkan, masukkan obat anestesi lokal 5 ml, tunggu 5 menit, kemudian diterlentangkan kembali dan dipimpin mengejan.
v   Alternatif lain dengan infus kontinyu.

2.4.3.      Pemantauan Ibu
Bila epinefrin ditambahkan pada dosis percobaan, jantung ibu dipantau terus menerus, peningkatan detak jantung akan terjadi dalam 25 detik setelah suntikan intravaskuler dan berlangsung hanya 30 detik. Kenaikan tekanan darah akan terjadi dalam 1-2 menit. Penggunaan tambahan epinefrin tidak selalu dilakukan. Bila dikhawatirkan obat anestesi lokal masuk ke ruang subarakhnoid dipilih menggunakan 3 ml lidokain hiperbarik 1,5% (45 mg) karena kombinasi ini akan memberikan bukti adanya blok sensoris mutlak dalam waktu 2 menit. Setelah suntikan intravaskuler, pasien dapat mengeluh rasa tak enak dengan kontraksi yang disebabkan oleh hipertoni rahim.

2.4.4.      Pengaruh Pada Janin
Efek farmakologik dari obat anestesi lokal minimal seperti ditunjukkan oleh percobaan neurobehavioral. Terjadi peningkatan konsentrasi obat anestesi lokal yang minimal dan bersifat sementara.
Narkotisasi janin yang kadang - kadang nampak dengan analgesia sistemik sepertinya kurang bila opioids ditambahkan pada obat anestesi lokal. Hipotensi maternal dengan disertai penurunan perfusi uteroplasental yang menghasilkan hipoksi janin dan asidosis, mungkin terjadi dan harus segera diterapi.
Pemantauan tanda tanda vital ibu dan janin harus dilakukan. Periksa tekanan darah ibu sesering mungkin, penurunan 10 mm Hg atau lebih harus diterapi. Ubah keposisi lateral kiri, berikan 02 masker, tingkatkan kecepatan infus intravena dengan RL 200-300 ml. Bila gagal, berikan 5-10 mg efedrin i.v. dan ulangi bila perlu. 

2.4.5.Pengalaman Dan Hasil Penelitian Lain
·      Cleland ( 1949 ) melaporkan bahwa teknik kateter ganda yang dilakukati sejak 1930-1940 terhadap beberapa ribu persalinan di tempat prakteknya di Origon City, berhasil baik dan sukses. Selanjutnya 1970 teknik tersebut diteruskan oleh anak lelakinya John Cleland Jr dan menghasilkan derajad analgesia tinggi yang aman bagi ibu dan bayinya pada hampir 4000 persalinan.
·      Campbell DC dkk ( 2000 ) mendapatkan hasil analgesi adekuat dan blok motorik minimal yang sama antara kelompok 20 ml Bupivakain 0,08% + 2 mg/ml Fentanil dan kelompok 20 ml Ropivakain 0,08% + 2mg/ml Fentanil.
·      Halpern SH dkk ( 1998) melaporkan hasil penelitiannya bahwa kenyamanan pasien dan nilai APGAR bayi yang dilahirkan dengan anestesi epidural lebih baik daripada opioid parenteral.
·      Sheiner E dkk ( 2000 ) merekomendasikan anestesi epidural pada nulipara yang umumnya lebih muda dan merasakan nyeri hebat saat persalinan.
·      Rosacg OP dkk ( 2002 ) melaporkan bahwa tak ada perbedaan klinis yang penting pada lama kala III antara yang mendapatkan anestesi epidural dan tidak. Walaupun lama kala III lebih pendek pada yang mendapatkan anestesi epidural dan pengeluaran placenta secara normal.
·      Liu EHC dkk ( 2004 ) melaporkan bahwa anestesi epidural kontinvu dengan Bupivakain konsentrasi rendah tidak meningkatkan risiko bedah sesar, tetapi dapat meningkatkan risiko persalinan pervaginam dengan alat. Kala II lebih panjung, tetapi mendapatkan bebas nyeri lebih baik.
·      Salim R dkk ( 2005 ) melaporkan bahwa tingkat analgesi dan kenyamanan ibu serta nilai APGAR bayi pada infusi epidural kontinyu hasilnva sama dengan fraksional.
·      Nielsen PE dkk ( 1996 ) memdapatkan insidens abnormalitas denyut jantung janin pada Sufentanil intratekal sarna dengan Bupivakain epidural pada jam I pemberian, yang perlu monitoring ketat pada periode tersebut.
·      Hill J B dkk ( 2003 ) rnelaporkan bahwa anestesi epidural dengan Hupivakain 0,25% dibanding Meperidin intravena selama 40 menit pertama, keduanya tak munpunyai efek yang merugikan pada denyut jantung janin.
·      Patemoster DM dkk ( 2001) melaporkam bahwa selama kala I persalinan tak terjadi perubahan saturasi 02 janin pada anestesi epidural dengan 10 mg Sufentanil + 15 ml Ropivakain 0,1%. Penurunan hanya terjadi 120 detik setelah kontraksi rahim Mulai.
·      Lieberman E dkk ( 1997 ) meneliti 1657 nulipara yang mendapatkan anestesi epidural, hasilnya 14,5% menderita demam intrapartum ( > 100,4° F ). Sedang yang tidak mendapatkan insidensnya hanya 1%.
·      Yancey MK dkk ( 2001 ) mendapatkan angka 11% dibanding 0,6%.
·      Bahar M dkk (2004) meneliti 450 obesitas yang mendapatkan anestesi epidural, kelompok I ( 150 ) posisi duduk, kelompok II (150) posisi lateral datar, kelompok III (150 ), posisi baring lateral head-down. Hasilnya posisi baring lateral head down mengurangi insidens tusukan intravena (duduk 12%, lateral datar 12,9% lateral head-down 1,3%).
·      Bader AM dkk ( 1995 ) melaporkan bahwa tak ada akumulasi obat pada janin dan tak terjadi efek farmakologlk pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapatkan infusi epidural kontinyu dengan Fentanil + Bupivakain.

Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknik epidural lumbar menghasilkan :
-      derajat analgesi tinggi.
-          aman bagi ibu dan bayi,
-          blok motorik minimal,
-          kenyamanan ibu dan nilai APGAR bayi lebih
-          kala-I tak terjadi penurunan saturasi oksigen janin, kala-II sedikit memanjang dan kala-III memendek,
-          risiko persalinan pmaginarn dengan alas meningkat,
-          demarn intrapartum pada nutipara 14,5%,
-          tak ada akumulasi obat pada bayi.

2.4.6. Perbandingan Dengan Anestesi Spinal
            Dibandingkan dengan teknik anestesi spinal, anestesi epidural mempunyai beberapa keunggulan dan kekurangan, yaitu :
Keunggulan
-          anestesi epidural kontinyu menawarkan suatu efek fleksibel yang lebih besar,
-          pada kala I persalinan, anesthesia untuk kontraksi rahim dapat dicapai tanpa relaksasi perineum, pada kala II dan III persalinan, relaksasi perineum dan anesthesia dapat dihasilkan.
-          onset hipotensi lambat dan derajat hipotensi kurang dibanding blok subbarakhnoid,
-          tak terjadi postdural puncture headache.

Kekurangan
-          secara teknis sedikit lebih sukar disbanding anestesi spinal dan tidak ada tanda yang pasti untuk mencapai sasaran,
-          onset anesthesia lebih lambat dibanding anestesi spinal,
-          angka kegagalan lebih tinggi walaupun dilakukan oleh dokter anestesi berpengalaman.

BAB III
PENUTUP

Perubahan fisiologik yang terjadi pada 3 bulan terakhir kehamilan perlu diperhitungkan untuk mencegah komplikasi yang tak diinginkan. Pada bnyak wanita, persalinan menghasilkan persepsi nyeri hebat dan cemas, dimana kondisi stress tersebut menyebabkan respons hormonal dengan akibat terjadinya perubahan metabolik dan hemodinamik yang lebih buruk. Analgesi dan sedasi sistemik dapat menghilangkan / mengurangi nyeri dan cemas tetapi memerlukan dosis besar yang berpengaruh pada nilai APGAR bayi. Sedangkan anestsi epidural lumbar hanya memerlukan dosis kecil obat, tanpa menimbulkan blok motorik / kelumpuhan, sehingga tepat untuk memfasilitasi persalinan bebas nyeri.
 
DAFTAR PUSTAKA

1.        Bonica JJ, Mc Donald JS. Maternal anatomic and physiologic alterations during pregnancy and parturition. Principles and Practicc of Obstetric Analgesia and Anesthesia, 2nd ed. Baltimore, Philadelphia : Williams & Wilkins, 1995 ; 45 – 78.
2.        Norris MC. Physiologic adaptation to pregnancy : the healthly parturient. Handbook of Obstetric Anesthesia. Philadelphia, Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins, 2000 : 1 – 24.
3.        Marwoto. Perubahan Fisiologi Selama Kehamilan, Persalinan dan Masa Nifas. Makalah pada simposium Recent Advances in Anesthesia. Bandung, 2002.
4.        Snow J. Lumbar epidural anestesia. Terjamahan Manual Technique of Anesthesiology. Bandung : Mangesthi Luhur Ambangun Nagoro, Desember 1989 ; 140 – 1.
5.        Snow J. Lumbar epidural anestesia. Anestesia dan Analgesia pada Obstetri : Terjamahan Manual Technique of Anesthesiology. Bandung : Mangesthi Luhur Ambangun Nagoro, Desember 1989 ; 312 – 20.
6.        Kelan M, Joenoerham J, Sunatrio S. Anestesia dan analgesi dalam kebidanan. Dalam : Wiknyosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997 ; 202.
7.        Bonica JJ, Mc Donald JS. Epidural analgesia and anesthesia : lumbar epidural blockade. Principles and Practicc of Obstetric Analgesia and Anesthesia, 2nd ed. Baltimore, Philadelphia : Williams & Wilkins, 1995 ; 346.
8.        Metcolfe J, Mc Anulty JH, Ueland K. Cardiovascular physiology. Clin Obstet Gynecol 1981 ; 24 : 293.
9.        Hytten FI, Chamberlain G. Clinical physiology of obstetric, 3rd ed. Blackwell, 1981.
10.    Lind T. Maternal physiology : basic sciense monograph in obstetric and gynecology. Council of Resident Education in Obstetric and Gynecology (CREOG), 1985.
11.    Sheiner E, Sheiner EK, Vardi IS, Gurman GM, Press F, Mazor M, et al. Predictors of recommendation and acceptance of intrapartum epidural analgesia. Anesth Analg 2000;90:109. International Anesthesia Research Society. (on line) : URL. http://www.anesthesia-analgesia.org/.2000.
12.    Rosaeg OP, Campbell N, Crossan ML. Epidural analgesia does not prolong the third stage of labour. CJA 2002;29:490 – 2. Canadian Anesthesiologists’ Society. (on line) : URL. http://www.cja-jca.org/.2002.

2 comments:

untuk comments yang tidak memiliki tata keramah akan di hapus!