Friday, April 22, 2011

Limfoma Non Hodgkin

BAB I
PENDAHULUAN
 Kelenjar getah bening terdapat di beberapa tempat di tubuh kita Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita memiliki
kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah submandibular (bagian bawah rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar.1
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease).1
Limfoma adalah sejenis kanker yang tumbuh akibat mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal. Hal ini berakibat sel abnormal menjadi ganas. Seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sum-sum tulang, darah maupun organ lainnya. Terdapat dua macam kanker sistem limfatik yaitu: penyakit Hodgkin dan Limfoma Non-Hodgkin (NHL). NHL adalah sekelompok penyakit keganasan yang saling berkaitan yang mengenai sistem limfatik.1,2
Limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat yang cukup sering dijumpai pada anak dengan frekuensi 3% dari seluruh kanker. Di Indonesia frekuensi relatif Limfoma Non Hodgkin jauh lebih tinggi di bandingkan dengan limfoma Hodgkin. Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena Limfoma Non Hodgkin (LNH). Di Amerika Serikat, 5 % kasus LNH baru terjadi pada anak laki-laki, dan 4 % pada anak perempuan per tahunnya.. Lebih dari 45.000 anak-anak didiagnosis sebagai Limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.1
Kanker yang tersering ditemukan di Indonesia. Kanker dibagi atas dua kelompok besar yaitu a) penyak:it Hodgkin, b) limfoma non-Hodgkin. Penyakit Hodgkin jarang ditemukan di Indonesia karena itu pada kesempatan ini akan dibahas limfoma non- Hodgkin saja. Karena termasuk salah satu di antara sekitar 10 jenis kanker yang dapat disembuhkan maka limfoma non-Hodgkin perlu dikenali oleh dokter yang bertugas di fasilitas kesehatan terdepan agar dapat dirujuk pada stadium yang dini ke rumah sakit dengan fasilitas yang memungkinkan penatalaksanaan penderita. Limfoma non-Hodgkin adalah kanker dari kelenjar getah bening karena itu mudah menjalar ke tempat-tempat lain disebabkan kelenjar getah bening dihubungkan satu dengan yang lain oleh saluran-saluran getah bening.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
LNH adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK (“natural killer”) yang berada dalam sistem limfe yang bersifat padat.1,2
Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi ginjal dan jantung.2

2.2 KLASIFIKASI 3
a.       Pembagian secara perjalanan penyakit:
·         Limfoma Hodgkin
·         Limfoma non-Hodgkin.
b.      Menurut golongan histologisnya limfoma dibagi atas 3 kelompok, besar yaitu :
·         LNH derajat keganasan rendah
·         LNH derajat keganasan menengah
·         LNH derajat keganasan tinggi
  
2.3 ETIOLOGI 2,4,5
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko terjadinya LNH, antara lain :
1.      Imunodefisiensi
25 % kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah : severe combined immunodeficiency, hypogamaglobulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.
2.      Agen Infeksius
EBV DNA ditemukan pada 95 % limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan resiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttransplant lymphoproliferative dissorders (PTLDs) dan AIDS-associated lymphomas.
3.      Paparan Lingkungan dan Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
4.      Diet dan Paparan Lainnya
Resiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan unlraviolet.

2.4 EPIDEMIOLOGI
LNH merupakan neoplasma ganas padat yang cukup sering dijumpai dengan frekuensi 3% dari seluruh kanker. Di Indonesia frekuensi relatif LNH jauh lebih tinggi di bandingkan dengan limfoma Hodgkin. Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5 % kasus LNH baru terjadi pada pria, dan 4 % pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika Serikat meningkat dengan pertambahan 5-10 % pertahunnya menjadikannya urutan ke lima tersering dengan angka kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Dengan makin meningkatnya insidens AIDS, jumlah kasus limfoma non-Hodgkin meningkat secara signifikan. 1,2, 6

2.5 PATOGENESIS4
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses tranformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar ”centrum germinativum” sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari ”central germinativum”. Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua, antara lain : 1) ukurannya makin besar, 2) kromatin inti menjadi lebih ”halus”, 3) nukleolinya terlihat, 4) protein permukaan sel mengalami perubahan (reseptor).
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap mempertahankan sifat ”dasar”nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk dalam aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.

2.6 MANIFESTASI KLINIS
Semua gejala yang dapat disebabkan oleh limfoma non Hodgkin juga dapat ditimbulkan oleh penyakit lain. Dengan kata lain, tidak ada satu gejala yang dapat digunakan untuk menjamin adanya limfoma non Hodgkin. Ini merupakan salah satu alasan mengapa pemeriksaan diagnostik sangat penting untuk menegakkan diagnosis limfoma non Hodgkin.5
Sangat sering, pasien tidak mempunyai gejala ketika limfoma non Hodgkin didiagnosis. Limfoma sering pertama kali ditemukan sebagai hasil pemeriksaan fisik dokter atau pemeriksaan karena kondisi lainnya, seperti tes darah atau sinar-X dada. Hal ini khususnya pada kasus pasien dengan limfoma non Hodgkin indolen dimana pertumbuhan lambat dan sering tanpa gejala untuk waktu yang lama.5  
Gejala klinis pada LNH dapat berupa sebagai berikut2,5,7 :
a.       Pembesaran kelenjar getah bening
Suatu pembengkakan kelenjar getah bening tanpa rasa sakit, biasanya lebih dari 1 cm adalah gejala yang paling sering saat limfoma non Hodgkin didiagnosis. Kelenjar paling mungkin didapatkan di leher, ketiak dan lipatan paha. Pembengkakan biasanya tidak menimbulkan rasa sakit atau gejala lainnya, tetapi sering ukurannya meningkat dengan pasti. Tentunya, harus diingat, bahwa pembengkakan kelenjar getah bening sangat umum, dan mayoritas orang dengan pembengkakan kelenjar tidak menderita limfoma non Hodgkin. Sejauh ini kebanyakan penyebab pembengkakan kelenjar getah bening adalah infeksi. Kelenjar getah bening yang membengkak pada infeksi biasanya mereda setelah infeksinya teratasi.
a.       Gejala konstitusional
Gejala konstitusional adalah gejala-gejala yang tidak spesifik yang mengindikasikan seseorang tidak sehat. Gejala konstitusional yang sering timbul pada limfoma non Hodgkin termasuk:
·         Demam berulang, yang tidak dapat diterangkan penyebabnya (dengan suhu tubuh melebihi 38 oC).
·         Keringat malam yang membasahi pakaian tidur dan alas tidur.
·         Kehilangan berat badan yang tidak diinginkan (penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan dalam 6 bulan).
·         Kelelahan yang berat dan menetap.
·         Penurunan nafsu makan.
·         Jangkitan orofaringeal dijumpai pada 5-10 % kasus yang dapat menimbulkan keluhan sakit menelan (sore throat).
·         Anemia, infeksi, dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang secara difus.
·         Dapat dijumpai hepato/splenomegali.
·         Gejala pada organ lain seperti kulit, otak, testis dan tiroid dapat dijumpai. Kelainan kulit sering dijumpai pada mycosis funguides.

2.7 DIAGNOSIS
Selain berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan gejala klinis yang menggambarkan penyakit LNH, namun dalam penegakkan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan histologi biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Biopsi kelenjar getah bening dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representative, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superficial yang representative, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.1,2,8
Selain untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan histologis dapat digunakan untuk menentukan derajat keganasan LNH. Derajat yang paling rendah adalah limfoma indolent (jinak), derajat selanjutnya limfoma agresif dan limfoma sangat agresif. Derajat limfoma juga dapat ditentukan setelah pemeriksaan histologis. Berdasarkan sistem “staging” Ann Arbor, tingkat penyakit pasien dibedakan atas: Stadium I jangkitan LNH pada satu daerah kelenjar getah bening; Stadium II jangkitan mengenai dua daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama; stadium III jangkitan pada daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma; dan stadium IV jangkitan difusa atau diseminata (menyeluruh) pada satu atau lebih organ eksemfalitik.8,9 Pemeriksaan penunjang lainnya yang juga diperlukan dalam pendekatan diagnostik yaitu pemeriksaan hematologi, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, radiologi, pemeriksaan di bidang THT, pemeriksaan cairan tubuh, sampai pada pemeriksaan biologi molekuler dan imunologik jika fasilitas pemeriksaan tersedia.

2.8 PENDEKATAN DIAGNOSTIK PADA LIMFADENOPATI10
Pendekatan diagnostik penderita limfadenopati umumnya sama dengan pendekatan penderita splenomegali dan/atau ke.lainan leukosit/imunoglobulin. Penderita dengan pembesaran kelenjar getah bening dapat disebabkanoleh (1) infeksi mikroorganisme (piogenik dan granulomatosa/parasit), (2) respon imun terhadap infeksi atau terhadap bahan noninfeksius, (3) neoplasma (primer atau sekunder), dan (4) penyebab yang tidak jelas (penyakit autoimin, reaksi obat, dan lain-lain).
Penderita limfadenopati mungkin tanpa keluhan, atau mungkin pula dengan gejala infeksi. Umumnya penderita mengeluh demam tanpa terbukti adanya infeksi, lemah, pembesaran kelenjar atau teraba massa tumor, perdarahan abnormal, berat badan menurun, nyeri tulang dan sendi, serta gatal-gatal seluruh tubuh. Pada penderita dengan gejala di atas perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang teliti, terutama pemeriksaan kelenjar getah bening dan limpa. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan foto Ro toraks, analisis air seni, pemeriksaan darah tepi, biopsi kelenjar getah bening, aspirasi sumsum tulang dan pemeriksaan Iainnya alas indikasi (Gambar 1).
Gambar 1. Skema pendekatan diagnostik pada limfadenopati

Tabel 2. Prosedur penetapan tingkat penyakit LNH

2.9 STADIUM LIMFOMA NON HODGKIN 11,12
Penentuan stadium LNH didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
A.    Formulasi kerja yang baru, yaitu
·         Tingkat rendah: Tipe yang baik
1. Limfositik kecil
2. Sel folikulas, kecil berbelah
3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah
·         Tingkat sedang: Tipe yang tidak baik
1. Sel folikulis, besar
2. Sel kecil berbelah, difus
3. Sel campuran besar dan kecil, difus
4. Sel besar, difus
·         Tingkat tinggi: Tipe yang tidak menguntungkan
1. Sel besar imunublastik
2. Limfoblastik
3. Sel kecil tak berbelah
B.     Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor
·         Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)
·         Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma yang sama (II) atau keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik dan satu atau lebih daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Rekomendasi lain: jumlah daerah nodus yang terlibat ditunjukkan dengan tulisan di bawah garis (subscript) (misalnya II3).
·         Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III), yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S).

·         Stadium IV:
Keterlibatan yang difus atau tanpa disertai pembesaran kelenjar getah bening. Alasan untuk menggolongkan pasien ke dalam stadium IV harus dijelaskan lebih lanjut dengan menunjukkan tempat itu dengan simbol.
 
2.10 DIAGNOSA BANDING
A.    Limfoma Hodgkin
Penyakit Hodgkin adalah suatu jenis keganasan sistem kelenjar getah bening dengan gambaran histologis yang khas. Ciri histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Sternberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran selular getah bening yang khas. Gejala utama adalah pembesaran kelenjar yang paling sering dan mudah dideteksi adalah pembesaran kelenjar di daerah leher. Pada jenis-jenis tipe ganas (prognosis jelek) dan pada penyakit yang sudah dalam stadium lanjut sering disertai gejala-gejala sistemik yaitu: panas yang tidak jelas sebabnya, berkeringat malam dan penurunan berat badan sebesar 10% selama 6 bulan. Kadang-kadang kelenjar terasa nyeri kalau penderita minum alkohol. Hampir semua sistem dapat diserang penyakit ini, seperti traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, sistem saraf, sistem darah, dan lain-lain.11,13
B.     Limfadenitis Tuberkulosa
Merupakan salah satu sebab pembesaran kelenjar limfe yang paling sering ditemukan. Biasanya mengenai kelenjar limfe leher, berasal dari mulut dan tenggorok (tonsil). Pembesaran kelenjar-kelenjar limfe bronchus disebabkan oleh tuberkulosis paru-paru, sedangkan pembesaran kelenjar limfe mesenterium disebabkan oleh tuberkulosis usus. Apabila kelenjar ileocecal terkena pada anak-anak sering timbul gejala-gejala appendicitis acuta, yaitu nyeri tekan pada perut kanan bawah, ketegangan otot-otot perut, demam, muntah- muntah dan lekositosis ringan. Mula-mula kelenjar-kelenjar keras dan tidak saling melekat, tetapi kemudian karena terdapat periadenitis, terjadi perlekatan-perlekatan.14

2.11 PENATALAKSANAAN
Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang dapat dilakukan adalah:15,16
1.  Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
·         Pada prinsipnya simtomatik
a.       Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
b.        Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif. Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy saja 2,3,7,8
2.  Derajat Keganasan Mengah (DKM)/agresif limfoma
a. Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU)+radioterapi
CHOP (Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin, Oncovin, Prednisone)
b. Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliasi.
3.  Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
·         DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
1.      Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
b.   Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi ke-empat
2. setelah siklus pengobatan lengkap

A. Tahapan Terapi1,2,4
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut
1.      Radioterapi
a.       Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b.      Untuk ajuvan pada ”bulky dissease”
c.       Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2.      Kemoterapi
a.       Kemoterapi tunggal (single agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah.
b.      Kemoterapi kombinasi, dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.      Kemoterapi kombinasi generasi I, terdiri atas :
·         CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison);
·         CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + Bleomycine)
·         COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with leucovorin rescue);
·         CVP/COP (cyclophosphamide, doxorubicine, prednison)
·         C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine, prednisone, procarbazine)
2.      Kemoterapi kombinasi generasi II, terdiri atas :
·         COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine, prednisone, bleomycine, doxorubicine, procarbazine)
·         Pro-MACE-MOPP (Prednisone, methatrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etopuside, mechlorethamine, vincristine, prednisone, procarbazine)
·         M-BACOD (methatrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone)
3.      Kemoterapi kombinasi generasi III, terdiri atas :
·         COPBLAM III (Cyclophosphamide, infusional vincristine, prednison, infusional bleomycine, doxorubicine, procarbazine)
·         ProMACE-CytaBOM (prednisone, methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomycine, vincristine)
·         MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednisone, bleomycine).

Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi yang lain. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan, malahan dapat menambah efek samping. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
1.      Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.
2.      Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell transplantation
3.      Terapi dengan imunomodulator
·         Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma, dikombinasikan dengan kemoterapi atau diberikan setelah kemoterapi untuk memperpanjang masa remisi. Hasilnya sampai sekarang masih kontroversial.
  1. Targeted therapy
Antibodi monoklonal : rituximab (Mabthera) suatu chimeric monoclonal antibody (human-mouse hybrid) ditujukan untuk CD20 antigen yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B. Pemberian rituximab intravena tiap minggu selama 4 minggu memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekarang cenderung di gabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.
Sebaiknya dikuasai suatu regimen kemoterapi yang tersedia di tempat tersebut. Regimen yang paling umum dipakai adalah CHOP :
1.      Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v hari 1
2.      Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v hari 1
3.      Oncovin (vincristine) 1,5 mg/m2, i.v hari 1 dan 5
4.      Prednison 100 mg peroral hari 1-5
Siklus diulangi tiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti dengan regimen lain.

B. Strategi Terapi LNH 2
1.      Pengobatan LNH derajat keganasan rendah stage I dan II
o    radioterapi merupakan obat pilihan.
  1. Pengobatan LNH derajat keganasan rendah stage III dan IV
o    Tumbuh lambat : chlorambucill cyclophosphamide oral
o    Dengan jangkitan yang luas dapat diberikan CVP, C-MOPP atau BACOP
  1. Pengobatan LNH derajat keganasan menengah stage I, II, III dan IV
o    Obat pilihan kemoterapi kombinasi yaitu CHOP memberi remisi 50-75%
  1. Pengobatan LNH derajat keganasan tinggi
o    Kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan utama
o    Limfoma imunoblastik sangat resisten pada kemoterapi dan radioterapi
o    Limfoma limfoblastik diberikan regimen terapi seperti pada ALL
o    Limfoma undifferentiated (Burkitt/non-Burkitt) diberi kemoterapi kombinasi : vincristine, methotrexate, dan cyclophosphamide.

2.12 PRONOGSIS
LNH dapat dibagi ke dalam 2 kelompok prognostik : indolen lymphoma dan agresif lymphoma. LNH indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih cepat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis ”divergen” baik pada kelompok indolen maupun agresif. 17,18
Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis berdasarkan International Prognostik Index (IPI), yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah ekstranodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapatkan antara 0-5.2
Tabel 1. Indeks Prognostik Pasien LNH untuk Seluruh Umur.2


BAB III
KESIMPULAN
1.      Limfoma malignum non Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat.
2.      Etiologi limfoma non Hodgkin adalah abnormalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom. Bisa juga disebabkan oleh infeksi virus seperti virus Epsteinbarr dan infeksi HTLV-1 (Human T Lymphotropic virus tipe 1)
3.      Gambaran klinis pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat mengalami demam, keringat malam dan penurunan berat badan.
4.      Diagnosis banding limfoma non Hodgkin dan limfadenitis tuberkulosa. Pada limfoma Hodgkin mempunyai gambaran histologis yang khas. Sedangkan limfadenitis tuberkulosa, biasanya mengenai kelenjar limfe leher, berasal dari mulut dan tenggorok (tonsil).
5.      Limfoma non Hodgkin mempunyai 4 stadium. Di sini dibagi atau ditetapkan tingkat penyakit: tahap I, tahap II, tahap III dan tahap IV.
6.      Penatalaksanaan yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Sesuai dengan derajat keganasan, dari yang rendah, menengah dan keganasan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Santoso M, Krisifu C. Diagnostik dan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. Jakarta : Dexa Media, 2004; 143-146.
2.      Shike M (1996): Nutrition therapy for the Cancer Patient. In: Hamatology / Oncology Clinic of North America 10 Number 1, pp 221 – 334.
3.      Chabner BA, Johnson RE, Young RC, Canellos GP, Hubbard SP et al. Sequential non surgical and surgical staging of non-Hodgkin's Lymphoma. Ann Intern Med 1977; 85 (2).
4.      Mross S (2006): Enteral and Parenteral Nutrition. In Terminally ill Cancer Patients: A review of the Literature. Am J of Hospice and Palliative Medicine Vol. 23 Nu 5, pp 369 – 377.
5.      Bruera ED, Fainsinger RL (2003): Clinical management of Cachexia and anorexia. In: Oxford textbook of Palliative Medicine 2bd ed. Editors: Dolyle D, Hanks G, Donald NM, Oxford University Press, pp 548 – 557.
6.      Lutz CA, Przytulski KR. (1994): Food services, Nutritional Care, and Nutrient Delivery in the Healthcare Facility. In: Nutrition and Dietary Therapy. Editors: Lutz CA, Przytulski KR, FA. Davis. Co,. Philadelphia, pp 365 – 399.
7.      Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. EGC, Jakarta.
8.      Bakta, I .M, Suastika K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Anak. EGC, Jakarta.
9.      Anonymous. Limfoma Non-Hodgkin 2007 ; (online), (http://indonesian.lymphoma-net.org, diakses 12 Maret 2007).
10.  Reksodiputro AR. Limfoma non-Hodgkin dan saran mengenai altematif penatalaksanaan di Indonesia. Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 21 Juli 1984.
11.  Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 1990.
12.  Mill WB, Lee FA, Franssila KO. Radiation therapy of stage I and II extranodal non-hodgkin’s lymphoma of the head and neck. Cancer 1980; 45:653-61.
13.  Abdulmuthalib. Pedoman diagnosa dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
14.  Staf Pengajar Bagian Patologik Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1996. dr. Sutrisno Himawan, Kumpulan Kuliah Patologi, Jakarta, 1996.
15.  Mansjoer A, Triyanti, Savitri R, et al. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius FKUI, 1999.
16.  Voakes JB, Jones SE, Mc Kelvey EM. The chemotherapy of lymphoblastic lymphoma. Blood 1981; 57:186-8.
17.  Anonymous. Limfoma Non-Hodgkin 2007 ; (online), (http://indonesian.lymphoma-net.org, diakses 12 Maret 2007)..
18.  Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta.












1 comment:

untuk comments yang tidak memiliki tata keramah akan di hapus!