BAB I
PENDAHULUAN
Antipsikotik atau neuroleptik adalah obat psikotropika yang bekerja mengatasi gejala-gejala gangguan psikotik.
Penggolangan obat antipsikotik yaitu;
a. Golongan Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik generasi pertama, konvensional, dopamine receptor ontagonist (DA).
b. Golongan Antipsikotik Atiprikal
Antipsikotik atipikal disebut juga antipsikotik generasi kedua, novel antipsychotics, serotonine-dopamine receptor ontagonist (SDA).
Efek samping antipsikotik, khususnya pada golongan tipikal meliputi efek samping jangka pendek: gejala-gejala gangguan ekstra-piramidal seperti drug-induced parkinsonion symptoms, akhatisia, distonia akut. Efek samping jangka panjang adalah tardif diskinesia.
Efek samping ekstra-piramidal pada pemberian antipsikotik dapat diatasi dengan mengurangi dosis antipsikotik, atau dengan mengganti antipsikotik tipikal dengan antipsikotik golongan atipikal.
Distonia adalah kelainan gerakan dimana kontraksi otot yang terus menerus menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang abnormal. Gerakan tersebut tidak disadari dan kadang menimbulkan nyeri, bisa mengenai satu otot, sekelompok otot (misalnya otot lengan, tungkai atau leher) atau seluruh tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. NEUROLEPTIK
2.1.1. Definisi
Antipsikotik atau neuroleptik adalah obat psikotropika yang bekerja mengatasi gejala-gejala gangguan psikotik.
2.1.2. lndikasi
ü Skizofrenia
ü Gangguan psikotik akut
ü Gangguanskizoafektif
ü Gangguan waham
ü Gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik
ü Gangguan depresi berat dengan gejala psikotik
ü Gangguan psikotik akibat kondisi medis umum (Psikotik organik)
ü Gangguan psikotik akibat penggunaan zat psikoaktif (Napza)
ü Sindroma tourette
ü Agresi atau perilaku kekerasan
ü Delirium
2.1.3. Penggolongan
a. Golongan Antipsikotik Tipikal:
Antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik generasi pertama, konvensional, dopamine receptor ontagonist (DA). Terdiri dari:
ü Antipsikotik tipikal berpotensi rendah (afinitas terhadap reseptor dopamine rendah), contoh:
§ Klorpromazin
§ Tioridazin
§ Sulpirid
ü Antipsikotik tipikal berpotensi tinggi, contoh:
§ Haloperidol
§ Perfenazin
§ Flufenazin
§ Trifluperazin
§ Pimozid
Petunjuk umum cara pemberian obat antipsikotik tipikal:
Antipsikotik tipikal bila diberikan per orol rata-rata akan mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 1 – 4 jam; bila diberikan melaluisuntikan intra-muskular dalam 30 - 60 menit. Kadar tetap (steady state) dicapai dalam 3 - 5 hari dan waktu paruh rata-rata adalah 24 jam. Rokok, kopi, obat antasida umumnya dapat mengganggu absorbsi obat antipsikotik tipikal.
Berikan dosis awal antipsikotik dengan dosis minimal yang ditingkatkan secara bertahap (stort low go slow). Penggunaan sediaan antipsikotik tipikal suntikan intra-muskular diindikasikan terutama untuk mengatasi gejala agitasi (gaduh gelisah) pada gangguan psikotik akut, skizofrenia dengan eksaserbasi akut, gangguan putus zat dengan gejala psikotik akut dan delirium.
Suntikan intra-muskular antipsikotik tipikal sediaan de.po (suntikan jangka panjang) seperti flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat diberikan secara berkala tiap 2 - 4 minggu.
Efek samping antipsikotik, khususnya pada golongan tipikal meliputi efek samping jangka pendek: gejala-gejala gangguan ekstra-piramidal seperti drug-induced parkinsonion symptoms, akhatisia, distonia akut. Efek samping jangka panjang adalah tardif diskinesia.
Efek samping ekstra-piramidal pada pemberian antipsikotik dapat diatasi dengan mengurangi dosis antipsikotik, atau dengan mengganti antipsikotik tipikal dengan antipsikotik golongan atipikal. Dapat juga diberikan obat anti-parkinsonian, obat anti-kolinergik:
§ Trihexvphenidyl 2 mg tablet, diberikan 2 - 3 kali PO per hari
§ Diphenhydramine 50 mg PO atau suntikan lM
b. Golongan Antipsikotik Atiprikal:
Antipsikotik atipikal disebut juga antipsikotik generasi kedua, novel antipsychotics, serotonine-dopamine receptor ontagonist (SDA), antara lain:
§ Clozapine
§ Risperidone
§ Olanzapine
§ Quetiapine
§ Aripiprazole
Beberapa jenis antipsikotik menurut potensi, efek ekstrapiramidal, efek sedatif dan efek menimbulkan hipotensi
2.1.4. Perhatian Dalam Penggunaan Antipsikotik
1. Pada penderita gangguan hati
§ makin parah gangguan pada hati maka makin besar risiko toksisitas dan sensitifitas terhadap efek samping, sehingga dosis awal harus rendah.
§ start low go slow
§ monitor pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT) secara berkala (mingguan)
2. Pada penderita gangguan ginjal
§ hati-hati dengan obat antipsikotik yang metabolit aktifnya diekskresikan melalui ginjal
§ start low go slow
§ efek samping cenderung lebih sering terjadi
§ monitor pemeriksaan fungsiginjalsecara berkala (ureum dan kreatinin)
3. Pada kondisi hamildan menyusui
§ tidak ada kontra indikasi absolut pemberian antipsikotik bagi ibu hamil dan menyusui
§ diupayakan untuk tidak memberikan antipsikotik terhadap tbu hamil terutama pada trimester pertama, kecuali pada kondisi gangguan jiwa ibu berat
§ obat-obat psikotropika hendaknya dikurangi atau dihentikan beberapa minggu sebelum perkiraan partus
§ semua psikotropika diekskresikan melaluiASl karena itu selalu ada risiko
§ efek samping biasanya terkait dengan dosis yang dipakai, karena itu gunakan dosis efektif minimal
4. Pada anak-anak
§ pemberian obat antipsikotik pada anak sebagian besar adalah "off-label pottern". Diberikan harus atas indikasi yang tepat dengan pengawasan penggunaan obat yang ketat
§ penggunaan antipsikotik pada anak tidak selalu menguntungkan karena anak sedang dalam perkembangan yang cepat dalam aspek biologi otak, fisiologik, kognitif, emosional dan sosial.
5. Pada lanjut usia
§ Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lanjut usia meningkatkan sensitivitas terhadap obat antipsikotik, lebih mudah mengalami efek samping (terutama efek kardiak), lebih lambat memetabolisme dan mengekresi obat
§ start low go slow
§ hindari pemakaian obat antipsikotik yang menyebabkan hipotensi dan sedasi
§ Dilema etik adalah kapasitas lansia dengan penurunan fungsi kognitif dalam memberi informed consent.
2.2. DISTONIA
2.2.1. Definisi
Distonia adalah kelainan gerakan dimana kontraksi otot yang terus menerus menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang abnormal.
Gerakan tersebut tidak disadari dan kadang menimbulkan nyeri, bisa mengenai satu otot, sekelompok otot (misalnya otot lengan, tungkai atau leher) atau seluruh tubuh. Pada beberapa penderita, gejala distonia muncul pada masa kanak-kanak (5-16 tahun), biasanya mengenai kaki atau tangan. Beberapa penderita lainnya baru menunjukkan gejala pada akhir masa remaja atau pada awal masa dewasa.
2.2.2. Etiologi
Para ahli yakin bahwa distonia terjadi karena adanya kelainan di beberapa daerah di otak (ganglia basalis, talamus, korteks serebri), dimana beberapa pesan untuk memerintahkan kontraksi otot diolah. Diduga terdapat kerusakan pada kemampuan tubuh untuk mengolah sekumpulan bahan kimia yang disebtu neurotransmiter, yang membantu sel-sel di dalam otak untuk berkomunikasi satu sama lain.
Gejala-gejala distonik bisa disebabkan oleh:
ü Cedera ketika lahir (terutama karena kekurangan oksigen)
ü Infeksi tertentu
ü Reaksi terhadap obat tertentu, logam berat atau keracunan karbon monoksida
ü Trauma
ü Stroke.
Sekitar 50% kasus tidak memiliki hubungan dengan penyakit maupun cedera, dan disebut distonia primer atau distonia idiopatik. Selebihnya merupakan distonia keturunan yang sifatnya dominan. Distonia juga bisa merupakan gejala dari penyakit lainnya, yang beberapa diantaranya diturunkan (misalnya penyakit Wilson).
2.2.3. Gejala
Gejala awal adalah kemunduran dalam menulis (setelah menulis beberapa baris kalima), kram kaki dan kecenderunagn tertariknya satu kaki keatas atau kecenderungan menyeret kaki setelah berjalan atau berlari pada jarak tertentu.
Leher berputar atau tertarik diluar kesadaran penderita, terutama ketika penderita merasa lelah. Gejala lainnya adalah tremor dan kesulitan berbicara atau mengeluarkan suara.
Gejala awalnya bisa sangat ringan dan baru dirasakan hanya setelah olah raga berat, stres atau karena lelah. Lama-lama gejalanya menjadi semakin jelas dan menyebar serta tak tertahankan.
2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan bagian tubuh yang terkena:
1. Distonia generalisata, mengenai sebagian besar atau seluruh tubuh
2. Distonia fokal, terbatas pada bagian tubuh tertentu
3. Distonia multifokal, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang tidak berhubungan
4. Distonia segmental, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang berdekatan
5. Hemidistonia, melibatkan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama, seringkali merupakan akibat dari stroke.
Beberapa pola distonia memiliki gejala yang khas:
1. Distonia torsi, sebelumnya dikenal sebagai dystonia musculorum deformans atau DMD.
Merupakan distonia generalisata yang jarang terjadi dan bisa diturunkan, biasanya berawal pada masa kanak-kanak dan bertambah buruk secara progresif. Penderita bisa mengalami cacat yang serius dan harus duduk dalam kursi roda.
2. Tortikolis spasmodik atau tortikolis
Merupakan distonia fokal yang paling sering ditemukan. Menyerang otot-otot di leher yang mengendalikan posisi kepala, sehingga kepala berputar dan berpaling ke satu sisi. Selain itu, kepala bisa tertarik ke depan atau ke belakang. Tortikolis bisa terjadi pada usia berapapun, meskipun sebagian besar penderita pertama kali mengalami gejalanya pada usia pertengahan. Seringkali mulai secara perlahan dan biasanya akan mencapai puncaknya. Sekitar 10-20% penderita mengalami remisi (periode bebas gejala) spontan, tetapi tidak berlangsung lama.
3. Blefarospasme
Merupakan penutupan kelopak mata yang tidak disadari. Gejala awalnya bisa berupa hilangnya pengendalian terhadap pengedipan mata. Pada awalnya hanya menyerang satu mata, tetapi akhirnya kedua mata biasanya terkena. Kejang menyebabkan kelopak mata menutup total sehingga terjadi kebutaan fungsional, meskipun mata dan penglihatannya normal.
4. Distonia kranial
Merupakan distonia yang mengenai otot-otot kepala, wajah dan leher.
5. Distonia oromandibuler
Menyerang otot-otot rahang, bibir dan lidah. Rahang bisa terbuka atau tertutup dan penderita mengalami kesulitan berbicara dan menelan.
6. Disfonia spasmodik
Melibatkan otot tenggorokan yang mengendalikan proses berbicara. Juga disebut disfonia spastik atau distonia laringeal, yang menyebabkan kesulitan dalam berbicara atau bernafas.
7. Sindroma Meige
Gabungan dari blefarospasme dan distonia oromandibuler, kadang-kadang dengan disfonia spasmodik.
8. Kram penulis
Merupakan distonia yang menyerang otot tangan dan kadang lengan bawah bagian depan, hanya terjadi selama tangan digunakan untuk menulis. Distonia yang sama juga disebut kram pemain piano dan kram musisi.
9. Distonia dopa-responsif
Merupakan distonia yang berhasil diatasi dengan obat-obatan. Salah satu variannya yang penting adalah distonia Segawa mulai timbul pada masa kanak-kanak atau remaja, berupa kesulitan dalam berjalan.
Pada distonia Segawa, gejalanya turun-naik sepanjang hari, mulai dari kemampuan gerak di pagi hari menjadi ketidakmampuan di sore dan malam hari, juga setelah melakukan aktivitas.
2.2.5. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
2.2.6. Penatalaksanaan
Sejumlah tindakan dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kejang otot dan nyeri:
a. Obat-obatan.
Telah digunakan beberapa jenis obat yang membantu memperbaiki ketidakseimbangan neurotransmiter. Obat yang diberikan merupakan sekumpulan obat yang mengurangi kadar neurotransmiter asetilkolin, yaitu triheksifenidil, benztropin dan prosiklidin HCl.
Obat yang mengatur neurotransmiter GABA bisa digunakan bersama dengan obat diatas atau diberikan tersendiri (pada penderita dengan gejala yang ringan), yaitu diazepam, lorazepam, klonazepam dan baklofen.
Obat lainnya memberikan efek terhadap neurotransmiter dopamin. Obat yang meningkatkan efek dopamin adalah levodopa/karbidopa dan bromokriptin. Obat yang mengurangi efek dopamin adalah reserpin atau tetrabenazin. Untuk mengendalikan epilepsi diberikan obat anti kejang karbamazepin.
b. Racun botulinum.
Sejumlah kecil racun ini bisa disuntikkan ke dalam otot yang terkena untuk mengurangi distonia fokal. Pada awalnya racun ini digunakan untuk mengobati blefarospasme.
Racun menghentikan kejang otot dengan menghambat pelepasan neurotransmiter asetilkolin. Efeknya bertahan selama beberapa bulan sebelum suntikan ulangan dilakukan.
c. Pembedahan dan pengobatan lainnya.
Jika pemberian obat tidak berhasil atau efek sampingnya terlalu berat, maka dilakukan pembedahan. Distonia generalisata stadium lanjut telah berhasil diatasi dengan pembedahan yang menghancurkan sebagian dari talamus. Resiko dari pembedahan ini adalah gangguan berbicara, karena talamus terletak di dekat struktur otak yang mengendalikan proses berbicara.
Pada distonia fokal (termasuk blefarospasme, disfonia spasmodik dan tortikolis) dilakukan pembedahan untuk memotong atau mengangkat saraf dari otot yang terkena.
Beberapa penderita disfonia spasmodik bisa menjalani pengobatan oleh ahli patologi berbicara-berbahasa. Terapi fisik, pembidaian, penatalaksanaan stres dan biofeedback juga bisa membantu penderita distonia jenis tertentu.
No comments:
Post a Comment
untuk comments yang tidak memiliki tata keramah akan di hapus!